Kuselusuri lorong itu. Kucari-cari sambil melihat papan yang ada di setiap persimpangan. Kukira takkan ada yang terlalu berbeda. Setiap kali memang ada kejutan-kejutan kecil darinya. Kadang membuatku iri, ah bukan iri,kagum. Aku tak sepandai dia,entah memadupadankan warna dan model, atau dalam membuat diri tampak anggun. Pink dan hitam.
Kulewati jalan yang lebih terang,tetapi tetap saja muram. Ada gerombolan kecil di tepi. Ah itu dia. Feminin. Di rambut yang sedikit lebih panjang dari terakhir kulihat tertempel bando dengan hiasan kupu kecil di bagian kanan.
Tetapi ada yang berbeda kali ini, sangat berbeda. Matanya. Setiap bertemu,kami selalu berteriak ceria saling memanggil. Tidak kali ini. Dia menatapku dengan sisa-sisa air mata dan menyebut namaku lirih. Glek :~. Tetapi teman sampingku yang sedikit dibelakangku memanggil namanya riang. Ah, salah gaya pikirku. Dia merasa,lalu merubah rona wajahnya.
Kuhampiri, lebih dekat , semakin jelas, ia terisak dan sebentar kupeluk,kemudian berganti temanku. Mamanya, sama, menangis. Kujabat. tetapi kata-kata menenangkan gagal keluar dari mulutku. Hanya wajahku yang kurasa sedikit tertekuk ingin mengambil sedikit kesedihannya.
……
Tak terdengar jelas bagaimana kronologisnya,hanya motor papa, ring road dan mobil yang terdengar jelas dari sela isak tangisnya. Tanganku di belakang punggungnya, kuusap-usap tanda ingin menenangkan. Tapi berat ingin bersuara. Bersuara apa. ? sabar, sudah kuulang ratusan kali. Tenang, sama. Apalagi. ? tak tahu.
UGD kemudian ICU. Detak jantung memakai alat, tapi aku tak tahu alat yang mana itu,banyak alat disitu. Mungkin teman sampingku,calon dokter, yang tahu. Dari pagi sampai sore itu belum sadar. Bagaimana rasanya. ? apa dia sedang berfikir. ? atau jalan melayang dan melihat putrinya terisak. ? atau. ? ah, tak tahu.
Kerabat dan tetangga, mungkin, juga ikut melihat dari balik jendela. Ada yang bilang kasihan, pasti sembuh,dan banyak kata lagi. Tetapi ada yang menangis lebih keras dibandingnya. Bagai diremas jantung kami. Teman lawasku kini sedang tenggelam dalam kesedihannya. Kuingat dia,kuingat papa dia, kulihat dia,kuingat mama dia, kulihat mama dia. sakiiitt. Ternyata jauh lebih sakit dan jauh lebih miris dibanding di tv. Beda ya sama di tv. ? teman sampingku mengatakan apa yang kupikirkan. He’em.
…24 jam (sepertinya tepat) setelah dengan berat hati kami beranjak…
Sabar, mama, sabar, dimana, sabar, tenang, sabar, besuk, sabar , Tuhan. Dalam telepon.
Sejarah. Kenangan.
Kubenci hal itu.
Karena yang ada saat yang lain tak ada.
Yang lebih kaya saat yang lain lenyap.
Yang muncul saat yang lain musnah.
….jangan jadikan dia sejarah…
Dia bisa menyayangi. Sejarah. ?
Dia bisa memberi. Kenangan. ?
Tak usah berandai karena mesin waktu memang taka da (kata ucup)
Tak usah berandai, karena saat “andai”an itu selesai, kau akan jatuh lebih sakit.
Bagikanlah saja kesedian itu pada kami.
Supaya meski sakitpun, itu lebih ringan.
Supaya meski hancurpun, itu tak lebur.
::papamu jadi bagian papaku. Kini masih ada ayahku, dia pasti tak keberatan jadi bagian ayahmu::
Read Full Post »